Beranda | Artikel
Faidah Dua Hadits Pertama
Selasa, 2 April 2019

Bismillah.

Alhamdulillah telah berlalu sedikit pembahasan mengenai faidah lima buah ayat pertama yang dibawakan oleh penulis Kitab Tauhid. Setelah itu, beliau pun membawakan dua buah hadits yang menunjukkan pentingnya tauhid.

Berikut ini dua hadits yang beliau bawakan :

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Barangsiapa ingin melihat wasiat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang di atasnya telah dibubuhi dengan stempel beliau hendaklah dia membaca firman Allah ta’ala (yang artinya), “Katakanlah; Kemarilah akan aku bacakan kepada kalian apa-apa yang diharamkan oleh Rabb kalian; hendaklah kalian tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun…” sampai firman-Nya, “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus…” (al-An’am : 151-153) (HR. Tirmidzi, beliau berkata hadits hasan gharib)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, beliau berkata : Dahulu aku pernah membonceng Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seekor keledai. Beliau berkata kepadaku, “Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa itu hak Allah atas hamba dan apa hak hamba kepada Allah?” aku menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun, sedangkan hak hamba kepada Allah adalah Allah tidak akan mengazab siapa pun yang tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” Aku berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya aku sampaikan berita gembira ini kepada manusia?” beliau menjawab, “Jangan dulu kamu sebarkan sebab nanti mereka akan bersandar kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kedua hadits ini menunjukkan kepada kita tentang pentingnya tauhid dan bahayanya syirik. Tauhid merupakan kewajiban terbesar sedangkan syirik merupakan keharaman yang paling besar. Tauhid inilah yang menjadi hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba. Keutamaan bagi mereka yang bertauhid dan bersih dari syirik adalah Allah akan membebaskan mereka dari azab-Nya.

Ayat-ayat dalam surat al-An’am yang dibawakan oleh Ibnu Mas’ud dalam hadits tersebut berisi beberapa wasiat Allah dan wasiat pertama yang disebutkan adalah wasiat untuk tidak berbuat syirik alias wasiat untuk memurnikan ibadah kepada Allah semata. Sesuatu yang menjadi wasiat Allah maka hal itu secara otomatis menjadi wasiat Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hadits Ibnu Mas’ud ini dinyatakan sahih sanadnya oleh Syaikh Shalih al-’Ushaimi hafizhahullah di dalam syarahnya. Maksud perkataan Ibnu Mas’ud adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat dengan Kitabullah sementara sesuatu yang paling agung di dalamnya adalah perintah untuk bertauhid dan larangan dari berbuat syirik. Sehingga bukanlah maksudnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menuliskan wasiat itu secara fisik lalu memberikan stempel atasnya. 

Pernyataan ‘hak Allah atas hamba’ memberikan faidah bahwa tauhid merupakan kewajiban setiap hamba yang harus mereka tunaikan kepada Allah. Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa tauhid adalah termasuk bentuk keadilan. Sebab makna keadilan itu adalah memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Ibadah adalah hak Allah, tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah. Oleh sebab itu tauhid merupakan keadilan yang paling tinggi karena hak Allah adalah hak yang paling tinggi. Sebaliknya, syirik merupakan bentuk kezaliman yang paling besar. Karena orang yang beribadah kepada selain Allah berarti telah menyerahkan ibadah kepada sesuatu yang tidak berhak menerimanya. Inilah makna yang terkandung dalam firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya syirik itu benar-benar kezaliman yang sangat besar.” (Luqman : 13)

Hak Allah atas hamba itulah yang menjadi sebab dan tujuan Allah menciptakan jin dan manusia; yaitu supaya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun. Ibadah yang dilakukan oleh hamba kepada Allah itu manfaatnya kembali kepada diri mereka sendiri, bukan kepada Allah. Adapun Allah Dia Mahakaya dan tidak membutuhkan makhluk-Nya.

Adapun ungkapan ‘hak hamba kepada Allah’ bukanlah suatu hal yang diwajibkan oleh siapapun kepada Allah tetapi sebuah kemurahan dan anugerah dari Allah kepada hamba-Nya; dengan Allah mewajibkan dirinya untuk membebaskan ahli tauhid dari azab neraka.

Dengan demikian hadits Mu’adz ini berisi sebuah berita gembira yang menunjukkan betapa besar keutamaan tauhid, karena ia menjadi sebab utama selamat dari kekalnya azab neraka. Apabila dia bersih dari syirik dan dosa besar maka dia akan selamat dari azab secara total. Adapun apabila dia selamat dari syirik tetapi masih membawa dosa besar maka bisa jadi Allah akan ampuni dosanya atau Allah azab dia di neraka dan pada akhirnya dia akan dimasukkan ke dalam surga. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah bahwa para pelaku dosa besar dari kalangan ahli tauhid tidak kekal di dalam neraka, berbeda dengan keyakinan Khawarij dan Mu’tazilah yang mengatakan bahwasanya pelaku dosa besar akan kekal di dalam neraka.

Di dalam hadits Mu’adz ini juga terkandung pelajaran fikih dakwah yang sangat bermanfaat. Yaitu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Mu’adz dari menyebarluaskan hadits ini secara langsung dengan alasan beliau khawatir manusia akan bermudah-mudahan karena bersandar kepada keutamaan tauhid semata. Jangan sampai orang beranggapan bahwa tidak masalah melakukan maksiat selama kita masih bertauhid. Apabila orang salah memahami maksud hadits ini mereka akan lebih mendominasikan sisi harapan daripada sisi rasa takut. Inilah salah satu bentuk metode hikmah dalam berdakwah; yaitu tidak meletakkan ilmu kecuali pada tempatnya yang semestinya. Demikian faidah dari keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah.

Di dalam kalimat ‘dan mereka tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun’ terkandung faidah yang sangat penting bahwa tidaklah seorang dikatakan beribadah kepada Allah dengan benar kecuali apabila dia membersihkan dirinya dari segala bentuk syirik. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tetapi tidak membersihkan dirinya dari syirik maka dia belumlah beribadah kepada Allah secara hakiki, demikian faidah dari Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah.

Hadits Mu’adz ini juga berisi tafsiran tauhid yaitu beribadah kepada Allah dan meninggalkan syirik. Sebagaimana hadits ini juga mengandung keutamaan tauhid dan keutamaan orang yang berpegang-teguh dengannya. Demikian faidah dari Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah. Demikian pula faidah yang telah disampaikan oleh Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah.

Ketika disebutkan bahwa syarat terbebas dari azab itu adalah tidak berbuat syirik, maka hal itu mencakup syirik besar maupun syirik kecil, sebagaimana ia juga mencakup syirik yang tampak maupun syirik yang tersembunyi/batin. Padahal syirik di tengah umat ini lebih samar daripada bekas rayapan seekor semut. Lantas siapakah yang bisa merasa aman dan bebas dari ancaman syirik? Oleh sebab itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengajarkan kepada kita untuk memohon keteguhan hati di atas agama Islam dan tauhid ini.

Bagaimana mungkin kita berdoa kepada Allah untuk diteguhkan di atas agama Islam ini sementara banyak diantara kita yang perkara agama yang paling pokok dan mendasar saja tidak mengerti? Tauhid tidak paham, aqidahnya amburadul! Konsekuensi dari doa ini adalah kita juga harus belajar agama dan menuntut ilmu, terutama ilmu tauhid dan aqidah Islam berdasarkan al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman para sahabat radhiyallahu’anhum.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/%ef%bb%bffaidah-dua-hadits-pertama/